This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 16 Maret 2012

Pemuliaan Ternak dan Dasar Genetika


Ilmu pemuliaan (Ing. breeding science) merupakan penerapan biologi, terutama genetika, dalam bidang peternakan untuk memperbaiki produksi atau kualitas. Ilmu ini relatif baru dan lahir sebagai implikasi berkembangnya pemahaman manusia atas asas-asas pewarisan sifat secara genetik. Secara umum, ilmu ini berusaha menjelaskan dan menerapkan prinsip-prinsip genetika (dengan bantuan cabang-cabang biologi lain) dalam kegiatan pemuliaan. Dalam prakteknya pemulian ternak menerapkan ilmu genetika, statistika dan biometrika serta reproduksi ternak, dengan tujuan untuk memperbaiki mutu genetik ternak, sehingga dapat meningkatkan produksi atau memberikan nilai tamba dalam pelaksanaannya.
Genetika berkembang baik sebagai ilmu murni maupun ilmu terapan. Cabang-cabang ilmu ini terbentuk terutama sebagai akibat pendalaman terhadap suatu aspek tertentu dari objek kajiannya.
Cabang-cabang murni genetika :
Cabang-cabang terapan genetika :

Dari ilmu genetika, terkait dengan aspek penurunan sifat dari tetua kepada keturunannya. Termasuk dalam hal ini adalah konsep-konsep hokum Mendel. Statistika dan biometrika berperan dalam pengukuran keragaman sifat dan penyebarannya, hubungan antara dua sifat atau lebih, serta analisis untuk pendugaan parameter-parameter genetik. Reproduksi terkait dengan aspek fertilitas, kebuntungan, jarak beranak dan kelahiran
Berbagai cabang genetika menemukan aspek praktis dalam ilmu pemuliaan, seperti:
· genetika populasi (misalnya dalam strategi persilangan),
· genetika kuantitatif (misalnya dalam teori seleksi),
· sitogenetika (misalnya dalam penggunaan organisme poliploid atau mutan),
· genetika molekular (misalnya dalam penggunaan penanda molekular atau transfer gen).
A. Perkembangan Ilmu Pemuliaan
Kegiatan pemuliaan lebih merupakan kombinasi antara ilmu dan seni yang telah dilakukan manusia ribuan tahun lalu, misalnya
· seleksi dan konservasi jagung oleh orang Indian di Meksiko dari teosinte,
· pembiakan ulat sutera di daratan Tiongkok yang menghasilkan serat sutera yang panjang,
· pemurnian berbagai ras anjing melalui seleksi terhadap serigala,
· persilangan kuda dengan keledai yang menghasilkan bagal, atau
· persilangan itik dengan itik manila (mentok) yang menghasilkanbrati.
Kegiatan-kegiatan itu sepenuhnya berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan intuisi, tanpa didasari dengan ilmu. Ilmu pemuliaan mulai berkembang sejak masa kebangkitan di Eropa (renaisans), dengan mulainya usaha untuk menggabungkan kubis dengan lobak dalam satu tanaman oleh Köhlreuter di Jerman, meskipun gagal. Bidang hortikultura dan peternakan (termasuk anjing dan kuda) menjadi obyek eksperimen para pemulia dan mereka mulai mendokumentasi berbagai hasil persilangan yang dilakukan. Pada masa ini beberapa prinsip seleksi dan hereditas telah dikenal.
Abad ke-19 menjadi tahap “pematangan” bagi ilmu pemuliaan, terutama melalui studi-studi dari Karl Pearson di bidang biostatistika, Charles Darwin di bidang biologi eksperimen, J.W.Shull di bidang pemuliaan terapan, dan Gregor Mendel yang melahirkan prinsip genetika. Pertentangan sengit yang terjadi di awal abad ke-20 antara kelompok pro-biostatistika dan pro-Mendel malah menjadi titik awal dari ilmu pemuliaan karena terbitnya naskah dari Ronald Fisher pada tahun 1918 yang “mendamaikan” kedua kubu dan meletakkan dasar ilmiah yang kokoh bagi ilmu ini.
B. Sumbangan Ilmu Pemuliaan
Penerapan ilmu pemuliaan (dan cabang-cabang ilmu peternakan lainnya) telah mengubah peta peternakan pada abad ke-20 jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya; dari peternakan yang rentan terhadap lingkungan menjadi peternakan yang lebih terkendali dan bisa dikalkulasi hasilnya. Sebagai contoh:
  • penggunaan varietas hibrida dengan memanfaatkan gejala heterosis, yang melipatgandakan hasil tanaman pangan (dikembangkan teknologinya oleh J.W. Shull)
  • revolusi hijau pada gandum (1950-an) dan diikuti dengan padi, yang berhasil mengembangkan varietas yang berumur pendek, tanggap terhadap pupuk namun berdaya hasil tinggi
  • seleksi berbasis prinsip genetika yang menghasilkan sapi dengan produksi susu atau daging yang meningkat tajam.
  • pengembangan galur ayam broiler yang respons terhadap pakan, tumbuh cepat, dan efisien.
Ilmu pemuliaan telah diterapkan di semua bidang, baik tanaman budidaya serta hortikultura (disebut pemuliaan tanaman), peternakan (disebut pemuliaan ternak), kehutanan, maupun perikanan. Produk hasil pemuliaan dikenal sebagai kultivar atau varietas (untuk tanaman), strain, galur, atau populasi seleksi (untuk ternak).
Dalam pembangunan peternakan ada empat komponen yang saling terkait, yaitu manusia (peternak) sebagai subjek yang harus ditingkatkan kesejahteraannya, ternak sebagai objek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, lahan sebagai basis ekologi budidaya dan pendukung pakan serta teknologi sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi produktivitas usaha peternakan.
Peningkatan produktivitas ternak asli (native) dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (mutu pakan dan tatalaksana) serta program pemuliaan. Peningkatan mutu genetik melalui program pemuliaan dapat dilakukan dengan perkawinan silang (persilangan) dan program seleksi. Seleksi dan persilangan merupakan dua metode yang dapat dilakukan dalam perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan produktivitas ternak. Jadi secara sederhana pemuliaan ternak merupakan kombinasi antara pengaruh faktor genetik, tatalaksana pemeliharaan dan faktor keberuntungan (good luck).
C. Memahami Peran Genetika
Genetika (dari bahasa Yunani γεννώ, genno, ‘melahirkan’) merupakan cabang biologi yang paling banyak dipelajari saat ini. Ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat (hereditas) dan variasi sifat pada organisme maupun suborganisme (seperti virus dan prion). Istilah ‘Genetika’ diperkenalkan oleh William Bateson pada satu surat pribadi kepada Adam Chadwick dan ia menggunakannya pada Konferensi Internasional tentang Genetika yang ke-3 pada 1906.
Bidang kajian genetika dimulai dari ranah molekular hingga populasi. Secara lebih rinci, genetika berusaha menjelaskan
  • material apa saja yang membawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik),
  • bagaimana informasi itu diekspresikan (ekspresi genetik),
  • bagaimana informasi itu ditransmisikan dari satu individu ke individu yang lain (pewarisan genetik), dan
  • terjadinya variasi antara satu individu dan individu lain berdasarkan ketiga hal yang disebutkan sebelumnya.
Meskipun orang biasanya menetapkan genetika dimulai dengan ditemukannya kembali naskah artikel yang ditulis Gregor Mendel pada tahun 1900, orang sudah mengenal sejak masa prasejarah bagaimana melakukan penjinakan (domestikasi) dan mengembangkan trah-trah murni (pemuliaan) ternak dan tanaman. Orang juga sudah mengenal efek persilangan dan perkawinan sekerabat serta membuat sejumlah prosedur dan peraturan mengenai hal tersebut sejak sebelum genetika berdiri sebagai ilmu yang mandiri.
B. Fenotip / Performans
Fenotip atau sering dikenal dengan performans merupakan suatu karakteristik (baik struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku) yang dapat diamati dari suatu organisme yang diatur oleh genotip dan lingkungan serta interaksi keduanya. Pengertian fenotip mencakup berbagai tingkat dalam ekspresi gen dari suatu organisme. Pada tingkat organisme, fenotip adalah sesuatu yang dapat dilihat/diamati/diukur, sesuatu sifat atau karakter. Dalam tingkatan ini, contoh fenotip misalnya warna mata, berat badan, atau ketahanan terhadap suatu penyakit tertentu. Pada tingkat biokimiawi, fenotip dapat berupa kandungan substansi kimiawi tertentu di dalam tubuh. Sebagai misal, kadar gula darah atau kandungan protein dalam daging. Pada taraf molekular, fenotip dapat berupa jumlah RNA yang diproduksi atau terdeteksinya pita DNA atau RNA pada elektroforesis.
Fenotip ditentukan sebagian oleh genotip individu, sebagian oleh lingkungan tempat individu itu hidup, waktu, dan pada sejumlah sifat, interaksi antara genotip dan lingkungan. Waktu biasanya digolongkan sebagai aspek lingkungan (hidup) pula. Ide ini biasa ditulis sebagai

P = G + E + GE
Keterangan:
P : fenotip,
G : faktor genotip
E : faktor lingkungan
GE : interaksi antara faktor genotip dan faktor lingkungan

Pengamatan fenotip dapat sederhana (masalnya warna bulu pada sapi) atau sangat rumit hingga memerlukan alat dan metode khusus. Namun demikian, karena ekspresi genetik suatu genotip bertahap dari tingkat molekular hingga tingkat individu, seringkali ditemukan keterkaitan antara sejumlah fenotip dalam berbagai tingkatan yang berbeda-beda.
Fenotip, khususnya yang bersifat kuantitatif misalnya produksi susu, produksi telur pertambahan berat badan harian dan sebagainya, seringkali diatur oleh banyak gen. Cabang genetika yang membahas sifat-sifat dengan tabiat seperti ini dikenal sebagai genetika kuantitatif.

Faktor Genetik
Seperti dikemukakan di atas, faktor genetik ditentukan oleh susunan gen di dalam kromosom yang dimiliki oleh individu. Jumlah pasangan gen dalam suatu spesies ternak adalah tetap, seperti yang tercantum di dalam Tabel 1. tetapi susunan gennya antara individu yang satu dengan yang lainnya berbeda. Dalam sel yang terdapat di dalam tubuh hewan, kromosom selalu terdapat secara berpasangan. Keadaan yang seperti ini disebut kromosom yang diploid.
Berbeda dengan kromosom yang ada sel tubuh, kromosom yang terdapat pada sel telur dan spermatozoa tidak berpasangan. Keadaan yang semacam ini disebut kromosom yang haploid. Kromosom semacam ini tercipta karena pada saat terjadinya proses spermatogeneisi maupun oogenesis telah terjadi pembelahan reduksi sehingga kromosom yang keadaannya berpasangan atau diploid, menjadi haploid.


Bahan Kuliah Pemuliaan Ternak: Pengantar kuliah

Hipofisis dan Hipothalamus



Hipofisis
Kelenjar hipofisis berada di dasar otak di bawah hipotalamus dalamsella tursica dan dipisahkan dari cavum cranii oleh kondensasi duramater yang menutup sella tursica diafragma sellae ) 
Kelenjar hipofisis terdiri dari 2 bagian utama yaitu : 
1. Neurohipofisis terdiri dari : 
    a. Lobus posterior ( pars nervosa )
    b. Tangkai hipofisis (Infundibulum)
    b. Eminensia medialis
Neurohipofisis berasal dari jaringan neural dan mempunyai hubungan langsung dengan hipotalamus dan susunan saraf pusat.
2. Adenohipofisis terdiri dari : 
    a. Pars distalis ( lobus anterior )
    b. Pars tuberalis
    c. Pars intermedia ( lobus intermedialis )
Adenohipofisis berasal dari jaringan ektoderm. Jalinan arteri pada eminensia medialis dan infundibulum ( sistem portal hipofisis ) merupakan sarana utama transportasi sekresi hipotalamus menuju hipofisis anterior. Hipofisis posterior merupakan tempat penyimpanan dua buah hormon yang diproduksi oleh hipotalamus : 
·  Oksitosin
·  Arginine vasopresin (ADH-antidiuretic hormone)
Hipofisis anterior memproduksi hormon tropik dibawah kendali regulasi hipotalamus melalui perantaraan sinyal neuroendokrin yang berjalan melalui sirkulasi disekitar infundibulum. Terdapat 5 buah jenis sel dalam hipofisis anterior yang terkait dengan produksi hormon tropik yaitu : 
·  Gonadotrof
·  Laktotrof
·  Somatotrof
·  Tirotrof
·  Kortikotrof
Sel – sel tersebut secara spesifik bertanggung jawab terhadap produksi dan sekresi dari : 
·  FSH – follicle stimulating hormone
·  LH – Luteinizing hormone
·  Prolaktin
·  GH – Growth Hormone
·  ACTH – Adrenocorticotropic hormone
Sel – sel tirotrof dan gonadotrof secara histologis sangat mirip sehingga produk sekresinya berupa LH,FSH dan TSH-thyroid stimulating hormone merupakan glikoprotein yang terdiri dari dua rantai subunit Î± dan Î². Subunit α FSH, LH dan TSH adalah identik dan juga terdapat dalam hCG-human chorionic gonadotropin. Pada berbagai hormon tersebut yang berbeda adalah rantai sub unit β.
Pengendalian aktivitas kelenjar hipofisis sebagian besar dilakukan oleh hipotalamus melalui suatu proses mekanisme umpan-balik (feedback mechanisme). Sel-sel pada nukleus hipotalamus yang mengendalikan hipofisis memiliki beberapa fungsi. Sel – sel tersebut dapat menerima sinyal dari pusat yang lebih tinggi didalam otak, atau membangkitkan sinyal saraf tersendiri dan memiliki kemampuan neuroendokrin. Beberapa sinyal saraf intrinsik yang berhubungan dengan sistem reproduksi dibentuk di dalam hipotalamus. Sinyal ini berasal dari suatu generator denyut (pulse generator) untuk GnRH – Gonadotropin Releasing Hormone dan dari neuron dopaminergik yang projeksinya menuju ke eminensia mediana hipotalamus. Pada keadaan basal, GnRH disekresi oleh hipotalamus dalam bentuk pulsasi dengan frekuensi 1 denyut per jam dan frekuensi ini berubah selama siklus menstruasi. GnRH merupakan hormon tropik utama dalam regulasi fungsi sel gonadotropin sehingga memegang peranan penting dalam sistem reproduksi disamping TRH – thyrotropin releasing factor dan PIF –prolactine inhibiting factor.
PROLAKTIN
Prolaktin diproduksi oleh sel laktotrof. Sekresi prolaktin memiliki keunikan tertentu oleh karena berada dibawah kendali inhibisi tonik hipotalamus. Selain itu, sekresi prolaktin tidak diatur oleh lingkaran mekanisme umpan balik yang klasik. 
Stimulus utama sekresi prolaktin : 
1. TRH-Thyroid Releasing Hormon
2. Estradiol
Stimulator lain : serotonin, opioid, oksitosin dan histamin.
Fungsi utama prolaktin : inisiasi dan pemeliharaan laktasi. Prolaktin dan GH – growth hormone memiliki kemiripan struktur dan berperan penting dalam fungsi imunologi. Kelainan tiroid sering ditemui pada masa reproduksi terutama pada wanita. Jumlah hormone tiroid yang abnormal dapat mempengaruhi sistem reproduksi melalui 2 mekanisme : 
· Efek langsung hormon tiroid terhadap sel sel perifer yang gen nya memiliki elemen respon terhadap tiroid , atau :
· Efek tak langsung melalui aktivitas TRH atau sekresi prolaktin

Sekresi TSH berada dibawah kendali hipotalamus melalui pelepasan hormone TRH. Produksi organ target seperti tiroksin akan mengatur sekresi TRH dan TSH melalui mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus dan hipofisis. 
Pada betina dengan aktivitas tiroid yang rendah menunjukkan kadar TRH dan TSH yang meningkat dan sebaliknya.

Materi kuliah Hipotalamus dan Hipofisis dapat didownload langsung.

Crosbreading


Pendahuluan
Inseminasi buatan (IB) telah diaplikasikan secara luas pada sapi perah maupun sapi potong di Indonesia. Aplikasi IB mempunyai keuntungan dan kerugian, namun dianggap keuntungan melampaui kerugiannya dengan berdasarkan prinsip suatu doktrin pemuliaan ternak “Breed the best to the best”. Teknologi ini terbukti merupakan tool yang handal dalam pelaksanaan breeding dan grading up sapi. Di Indonesia implementasi komersial IB dimulai sejak tahun 1975, dengan tujuan utama untuk memudahkan penyebaran genetik unggul, meningkatkan kebuntingan, meningkatkan produktivitas ternak rakyat, efisiensi penggunaan pejantan unggul dan mencegah penyebaran penyakit kelamin menular. Inseminasi buatan mempunyai manfaat memudahkan upaya mengkombinasikan genetik impor ke dalam potensi genetik sapi lokal. Implementasi tahap I, dimulai tahun 1982 dengan semen beku dari pejantan Taurindicus dan Santa Gertrudis belum berhasil mendapatkan respon dari peternak; Tahap II, dimulai tahun 1990 dengan pejantan Simmental dan Limousin mendapatkan respon luar biasa sampai sekarang oleh peternak.
Crossbreeding merupakan persilangan antar ternak dari bangsa (breed) yang berbeda. Crossbreeding sapi potong mempunyai tujuan antara lain: a) membentuk bangsa teranak baru (composite breed), b) meningkatkan produksi ternak lokal, c) mendapatkan efek heterosis (sifat yang muncul dari persilangan yang berbeda dari induknya), d) mendapatkan komplementari bangsa (breed complementary). Di dunia sapi potong praktek persilangan ini banyak dilakukan untuk membentuk terminal cross atau composite breed antara Bos taurus dan Bos indicus. Australia merupakan negara peternakan yang banyak melakukan praktek ini untuk membentuk bangsa sapi baru yang tahan panas, tahan kering dan tahan caplak, namun mempunyai produktivitas yang tetap tinggi. Tercatat antara lain muncullah bangsa sapi baru silangan Bos taurus-Bos indicus, antara lain Simbrah (Simmental-Brahman), Brangus (Brahman-Angus), Australian Milking Zebu, Draught Master, Brahman Cross, Sahiwal Cross. Sejauh ini tidak dilaporkan adanya penurunan tingkat fertilitas secara signifikan bangsa sapi silangan tersebut di Australia dengan manajemen peternakan pastura ekstensif.
Di Indonesia, aplikasi inseminasi buatan pada sapi potong secara intensif telah memungkinkan terjadinya crossbreeding antara sapi-sapi lokal (Peranakan Onggole = PO atau Bali) dengan semen beku Bos taurus, utamanya Simmental, Limousin dan Angus, sehingga permintaan semen bekunya tetap tinggi. Sebaliknya semen beku pejantan lokal semakin kurang diminati oleh peternak. Belum adanya breeding policy sapi potong dari Pemerintah yang rinci dalam program crossbreeding ini, serta diberlakukannya otonomi daerah, menyebabkan program inseminasi buatan dilakukan oleh peternakan rakyat, tanpa kontrol dari pemerintah. Belum lagi adanya ancaman punahnya bangsa sapi lokal, seperti semakin langkanya sapi PO di pulau Jawa. Alasan mengapa peternak sapi potong di Indonesia lebih menyukai persilangan dengan Bos taurus (Simmental dan Limousin), antara lain karena berat lahir lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang eksotik. Alasan ini mengakibatkan nilai jual lebih tinggi, pendapatan peternak lebih besar, serta dapat menjadi kebanggaan peternak. Kondisi saat ini program crossbreeding dalam grading up sapi lokal dengan semen beku Simmental atau Limousin semakin banyak dijumpai di pedesaan indukan sapi silangan F1 (50% darah Bos taurus), F2 (75%), F3 (87,5%), F4 (93,75%) dan F5 (96,875%). Fakta menunjukkan bahwa sapi silangan indukan milik rakyat dengan darah Bos taurus lebih dari 87,5% mempunyai kecenderungan sulit bunting, bahkan dari fertilitasnya sudah kelihatan adanya penurunan sejak F1.
Kinerja dan Anomali Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding
Aplikasi IB pada indukan sapi silangan menunjukkan penurunan kinerja reproduksi, antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR), semakin meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) dan hari-hari kosong (days open) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pengamatan Putro (2008) pada kelompok sapi PO dan silangan akseptor IB di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hal tersebut (Tabel 1).
Kinerja Produksi
PO
F1
F2
F3
F4
Angka Konsepsi
80%
68%
60%
39%
34%
S/C
1.2
1,9
2,3
3,4
3,5
Days open
158 hari
189 hari
205 hari
236 hari
219 hari
Anestrus pasca beranak
38%
44%
58%
68%
76%
Endometritis
8%
17%
22%
31%
28%
Repat Breading
28%
38%
47%
62%
68%
Korpus Luteum
6%
13%
15%
19%
16%


Penurunan kinerja reproduksi terlihat dengan semakin menurunnya angka konsepsi, meningkatnya jumlah inseminasi per konsepsi dan hari-hari kosong pasca beranak dengan semakin banyaknya angka F, atau dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pada kasus ini kebetulan semua sapi betina diinseminasi buatan dengan semen beku bangsa Simmental. Pada peternakan sapi rakyat, pemeliharaan tradisional dan pakan yang kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya agaknya merupakn penyebab utama menurunnya kunerja reproduksi ini. Disamping itu, masalah pakan sangat mempengaruhi skor kondisi tubuh (SKT) yang umumnya lebih rendah dari optimum bagi proses reproduksi (3,0-3,5, dari skor 1,0-5,0). Rerata SKT sapi silangan yang relatif rendah ini sangat berpengaruh pada kinerja reproduksi. Penurunan kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto (2002) diduga sebagai akibat adanya pengaruh genetic environmental interaction, di samping kemungkinan telah banyak terjadi inbreeding akibat persilangan yang tidak terencana dan tidak tercatat. Dari pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan sifat-sifat gen resesif, antara lain berbentuk kematian pedet dalam kandungan, lahir mati (still birth), kasus-kasus teratologi seperti hidrosephalus dan atresia ani (tidak mempunyai lubang anus).
Semakin tinggi darah Bos taurus akan membuat sapi semakin rentan terhadap investasi cacing hati (fasciolasis) dan cacing porang (paramphistomiasis). Keadaan ini sangat mengurangi efisiensi pakan dan akibatnya jelas kondisi sapi yang terlalu kurus atau mempunyai SKT rendah (dibawah 2,0) serta berakibat dengan tumbulnya infertilitas metabolik. Anomali reproduksi sangat berkaitan erat dengan rendahnya SKT dan infertilitas metabolik, terutama berbentuk hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), sista folikel (anovulatory follicle), ovulasi tertunda (delayed ovulation) dan korpus luteum persisten (persistency of corpus luteum) dan endometritis subklinis (subclinical endometritis).
Hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), erat kaitannya dengan SKT rendah atau infertilitas metabolik. Pada sapi crossbreeding keadaan ini lebih umum dijumpai daripada sapi PO, akibat lebih pekanya sistem reproduksi terhadap malnutrisi. Kejadian malnutrisi menyebabkan defisiensi kronis follicle stimulating hormone (FSH), akibatnya tidak terjadi perkembangan folikel serta pengecilan ukuran ovaria. Pada kasus ini tidak dijumpai adanya perkembangan folikel dan ovulasi, sehingga sapi akan mengalami anestrus. Perbaikan SKT dengan peningkatan pakan akan segera memulihkan keadaan ini, dengan catatan kondisi belum melanjut menjadi atrofi ovaria.
Sista folikel (anovulatory follicle), keadaan ini lebih ringan daripada hipofungsi ovaria, walaupun lebih karena defisiensi luteinizing hormone (LH). Folikel yang berkembang maksimum tidak mengalami ovulasi, karena kuantitas LH kurang mencukupi untuk menginisiasi ovulasi. Sista folikel terbukti juga lebih banyak terjadi serta kejadiannya cenderung lebih meningkat pada sapi silangan dengan darah Bos taurus lebih tinggi.
Ovulasi tertunda (delayed ovulation), juga akibat defisiensi LH lebih ringan lagi. Folikel ovulasi yang sudah masak mengalami penundaan ovulasi akibat LH kurang optimum. Kondisi ini juga lebih sering dijumpai pada sapi silangan dengan Bos taurus, serta prevalensinya lebih meningkat dengan semakin tingginya angka F.
Korpus luteum persisten (persistency of corpus luteum), terkait dengan adanya peradangan dan infeksi endometrium, terjadi karena kegagalan  karena lesi padaaproduksi dan atau pembebasan prostaglandin F2 endometrium. Sapi penderita korpus luteum persisten biasanya mengalami gejala tidak birahi atau anestrus. Endometritis subklinis (subclinical endometritis), merupakan peradangan ringan endometritis, namun tidak menghentikan siklus estrus penderita. Endometritis subklinis biasanya mempunyai gejala repeat breeding (kawin berulang), yaitu keadaan dimana betina dengan siklus birahi normal kawin lebih dari 3 kali dengan pejantan atau semen fertil namun tetap tidak berhasil bunting. Pada sapi crossbreeding kejadian infeksi dan alat reproduksi atau endometrium dan menyebabkan repeat breeding memang lebih banyak terjadi pada sapi dengan darah Bos taurus lebih tinggi. Biasanya peneliti mempunyai pengalaman bahwa kalau sapi crossbreeding dengan Bos taurus dengan perawatan yang memadai, dengan pakan yang mencukupi baik dari kualitas dan kuantitasnya, maka kinerja reproduksi akan dapat dipertahankan sama atau lebih ditingkatkan daripada sapi lokal (PO).
Begitu pula dengan anomali reproduksinya nyaris tidak ditemui, termasuk hipofungsi ovaria, ovulasi tertunda, sista folikel, korpus luteum persisten maupun endometritis subklinis. Kinerja reproduksi juga dapat menunjukkan angka normal, misalnya angka konsepsi mendekati 60%, jumlah inseminasi per kebuntingan sekitar 1,5 kali dan hari-hari kosong sekitar 150 hari. Perbaikan manajemen peternakan dan pakan menjadi kata kunci dalam menangani masalah anomali reproduksi sapi crossbreeding indukan. Semakin tinggi darah Bos taurus berarti semakin mempersyaratkan pemeliharaan, pakan serta kesehatan ternak lebih baik untuk tercapainya produktivitas dan reproduktivitas maksimum.
Bentuk reproduksi klinis sapi silangan indukan yang lazim ditemui adalah semakin banyaknya kejadian prolapsus vagina pada sapi bunting maupun prolapsus uteri (Bahasa Jawa: broyongen) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Hal serupa dijumpai pada kejadian kesulitan beranak (dystocia) dan retensio plasenta. Kasus-kasus klinis ini erat kaitannya dengan defisiensi pakan dan manajemen perkandangan pada peternakan sapi potong rakyat. Kasus reproduksi klinis ini juga bisa diminimumkan dengan perbaikan pakan dan manajemen peternakan.
Analog dengan turunan betina, pada sapi jantan hasil crossbreeding antara sapi PO atau Bali dengan semen beku Bos taurus (Simmental dan Limousin) dicatat anomali reproduksi bilamana ternak dipelihara dengan kondisi tradisional. Bentuk anomali sapi jantan silangan antara lain rendahnya libido atau keinginan mengawini (sex drive), rendahnya kualitas semen terutama rendahnya konsentrasi dan motilitas spermatozoa, beberapa kasus bahkan dicatat adanya azoospermia (tidak mempunyai spermatozoa yang hidup).
Fenomena Reproduksi Sapi Brahman Cross
Populasi sapi Brahman Cross dari Australia jumlahnya semakin bertambah, sebagai upaya menambah populasi sapi indukan. Sapi ini merupakan persilangan antara sapi Brahman, Hereford dan Shorthorn dengan proporsi darah berturut-turut 50%, 25% dan 25%, sehingga secara fisik bentuk fenotip dan keistimewaan sapi Brahman Cross cenderung lebih mirip sapi American Brahman. Budidaya sapi ini dengan sistem peternakan intensif tradisional akan menimbulkan fenomena reproduksi, terutama berupa infertilitas nutrisi yang dimanifestasikan dengan birahi tenang, anestrus dan kawin berulang.
Birahi tenang atau birahi tidak teramati (silent heat, sub-estrus) banyak dilaporkan pada sapi Brahman-Cross; sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi and ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat. Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat. Pada peternakan sapi Brahman-Cross di negeri asalnya, kasus birahi tenang tidak menimbulkan masalah, karena mereka menggunakan pejantan alami yang merupakan detektor birahi sapi terbaik. Birahi tenang pada sapi Brahman-Cross pada peternakan rakyat terjadi karena beberapa kemungkinan, antara lain sapi Brahman-Cross memiliki sifat antara lain: a) Cenderung untuk birahi pada hari gelap, b) Lama birahinya pendek, dengan rerata kurang dari 6 jam, c) Intensitas gejala birahi memang lemah.
Sifat birahi sapi Brahman-Cross yang cenderung tenang ini timbul diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain: a) Faktor genetis, b) Manajemen peternakan tradisional, c) Defisiensi komponen-komponen pakan atau defisiensi nutrisi, d) Perkandangan tradisional, sempit, kurang gerak, kandang individual, e) Kondisi fisik jelek, kebanyakan karena parasit interna (cacing), f) Dalam proses adaptasi.
Tidak birahi sama sekali atau anestrus adalah keadaan dimana memang tidak terjadi siklus reproduksi, tidak ada ovulasi, sehingga tidak terjadi gejala birahi sama sekali. Kasus anestrus pada sapi Brahman-Cross cukup banyak ditemui, umumnya terjadi setelah beranak. Anestrus pada sapi Brahman-Cross umumnya berupa hipofungsi ovaria (90%) akibat defisiensi nutrisi and korpus luteum persisten (10%) akibat adanya peradangan saluran reproduksi.
Hipofungsi ovaria adalah kurang atau tidak berfungsinya ovaria dalam menghasilkan ovum secara rutin, karena tidak terbentuk folikel dan tidak ada ovulasi, sehingga juga tidak timbul gejala birahi. Kurang atau tidak berfungsinya ovaria ini memang bersifat temporer, namun kalau keadaannya melanjut maka ovaria akan tidak berfungsi secara permanen, karena stroma jaringan ovaria akan diganti dengan jaringan ikat, keadaan ini disebut atrofi ovaria. Pada ovaria yang mengalami hipofungsi maka akan teraba kecil, diameter sekitar 1,5 cm, pipih, permukaan licin halus dan uterusnya teraba lembek, tidak bertonus. Bila sudah melanjut menjadi atrofi ovaria, maka ovaria akan teraba semakin kecil lagi, diameternya sekitar 0,5 cm dan rabaannya menjadi keras karena stroma ovarium digantikan oleh jaringan ikat. Sapi penderita akan segera mengalami peningkatan berat badan dengan cepat, karena tidak aktifnya lagi ovaria akan menyebabkan seperti hewan diovariektomi.
Sapi Brahman-Cross yang mengalami anestrus 80% disebabkan oleh hipofungsi ovaria ini, termasuk juga atrofi ovaria. Penyebab utama dari hipofungsi ovaria karena adanya defisiensi hormon gonadotrofin, akibat dari berbagai faktor antara lain : 1) Defisiensi nutrisi, pakan yang tidak memadai, termasuk enerji, protein, vitamin dan mineral, 2) Menyusui pedet, 3) Penyakit-penyakit yang menyebabkan kekurusan, 4) Parasit cacing, terutama sapi Brahman Cross lebih peka terhadap cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis) dibanding sapi lokal lain, seperti sapi PO dan Bali.
Korpus luteum persisten merupakan penyebab anestrus pada sapi Brahman-Cross, walaupun kejadiannya relatif kecil, hanya sekitar 10% dari seluruh kasus anestrus. Korpus luteum sebetulnya bukan merupakan gangguan reproduksi, namun lebih sebagai akibat adanya gangguan di dalam uterus atau pada endometrium. Adanya gangguan tersebut menyebabkan tidak terproduksinya atau terjadi gangguan pembebasan prostaglandin, sehingga korpus luteum akan tetap ada (persist), progesteron akan terus dihasilkan dan terjadilah anestrus. Penyebab korpus luteum persisten yang menyebabkan anestrus antara lain: 1) Radang endometrium (endometritis) yang banyak terjadi pasca beranak maupun pasca inseminasi, 2) Piometra pasca inseminasi maupun pasca beranak, 3) Mengikuti kematian embrio atau fetus, abortus, mummifikasi atau maserasi fetus.
Penanganan kasus korpus luteum persisten umumnya ditujukan kepada pengobatan penyebab gangguan pada endometrium dan penghancuran korpus luteumnya, misalnya dengan sediaan prostaglandin. Pemberian prostaglandin akan mampu memecah korpus luteum dan mengembalikan siklus reproduksi sapi penderita.
Penanganan Anomali Reproduksi Sapi Crossbreeding
Berdasarkan temuan mengenai status reproduksi sapi crossing sapi lokal X Bos taurus dan Brahman-Cross dengan segala permasalahannya untuk perbaikan efisiensi reproduksinya sebagai berikut:
1.      Breeding policy untuk sapi potong perlu segera diimplementasikan, seperti ditetapkan dalam crossbreeding darah Bos taurus-nya jangan melebihi 75% (maksimum F2) setelah itu disilangkan balik (backcrossing), untuk meminimumkan kasus anomali reproduksi.
2.     Pakan yang mencukupi kualitas dan kuantitasnya, untuk mempertahankan SKT optimum untuk reproduksi (3,0-3,5), di samping pemberian obat cacing berspektrum luas untuk mengatasi cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis), paling tidak 2 kali setahun merupakan kunci bagi penanggulangan reproduksi klinis sapi crossing sapi lokal x Bos taurus.
3.     Manajemen peternakan yang keliru merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi pada sap silangan dan Brahman Cross, utamanya adalah defisiensi pakan, sistem perkandangan dan pengamatan birahi.
4.  Kandang lepas, tanpa ditambat, atau adanya tempat umbaran untuk exercise merupakan keharusan bagi sapi Brahman Cross.
5.  Pemeriksaan khusus infertilitas untuk identifikasi permasalahan individual sapi silangan dan Brahman-Cross yang bermasalah. Perlu ditentukan apakah sapi hanya mengalami birahi tenang, anestrus atau infertilitas bentuk lain.
6.  Penanganan infertilitas metabolik dan nutrisi, dengan perbaikan pakan dan perbaikan skor kondisi tubuh.
7.  Penanganan Klinis kasus anestrus karena hipofungsi ovaria, yang merupakan kasus infertilitas terbesar pada sapi Brahman, juga mirip dengan penanganan birahi tenang,
a.     Perbaikan kondisi fisik (SKT), sampai mencapai skor sekitar 3,0.
b.     Penanganan dengan sediaan progestagen atau gonadotropin-releasing
hormone (GnRH).
8.  Penanganan klinis kasus repeat breeding (kawin berulang), antara lain:
a.     Inseminasi ganda, dua kali masing-masing satu dosis dengan selang 12 jam, terutama pada kasus yang terkait dengan ovulasi tertunda.
b.     Infusi intrauterina antibiotika, misal penicillin kristal 1 juta unit dan streptomycin 1 gram, atau yodium povidone 2% dengan volume 100 – 250 ml, terutama untuk kasus endometritis subklinis.
Beberapa metode untuk induksi birahi dan ovulasi pada sapi Brahman-Cross
yang mengalami birahi tenang dan hipofungsi ovaria, antara lain dapat
disebutkan: Penggunaan CIDR (controlled internal drug release), implant berisi progesterone, diiserasikan intravagina dan dibiarkan selama 9-12 hari. Insemiansi buatan dilakukan pada 72 dan 96 jam setelah pengambilan implant.
Metode Ovsynch (sinkronisasi ovulasi) dengan menggunakan 250 mcg Gonadorelin (GnRH) disuntikkan intramuskuler pada hari ke 0, diikuti 15 mg Luprostiol (prostaglandin) pada hari ke 7, dan akhirnya 250 mcg Gonadorelin pada hari ke 8, inseminasi buatan tanpa melihat gejala birahi dilakukan pada hari ke 9.
Kasus prolapsus vagina dan serviks maupun prolapsus uteri dan kasus distokia pada sapi Brahman Cross dapat dihindari dengan mempertahankan SKT antara 3,0-3,5 pada saat bunting, serta diberi cukup banyak exercise pada tempat umbaran. Penambahan mineral, termasuk mikromineral, penting diberikan harian untuk mencegah terjadinya abnormalitas reproduksi lebih jauh.

Kesimpulan
Inseminasi buatan memungkinkan program crossbreeding antara sapi betina lokal dan semen beku pejantan Bos taurus. Keadaan ini menyebabkan jumlah sapi silangan F1, F2, F3 dan F4 semakin banyak dijumpai, serta semakin sulitnya ditemui sapi PO di pulau Jawa. Fakta menunjukkan bahwa terjadi penurunan kinerja reproduksi dan peningkatan anomali reproduksi pada sapi-sapi indukan tersebut. Kinerja reproduksi dan anomali reproduksi pada sapi indukan silangan dapat diperbaiki dengan peningkatan manajemen peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan. Sapi Brahman Cross (BX) merupakan sapi potong dengan darah Brahman dominan. Sifat sapi Brahman Cross sebagai hewan dengan reproduksi lambat (slow breeder), sulit dideteksi birahinya membuat pelaksanaan IB pada sapi banyak menjumpai kegagalan. Budidaya sapi ini dengan sistem peternakan intensif tradisional akan menimbulkan fenomena reproduksi, terutama berupa infertilitas nutrisi yang dimanifestasikan dengan birahi tenang, anestrus dan kawin berulang. Fenomena reproduksi pada sapi Brahman-Cross tersebut dapat dieliminasi dengan perbaikan manajemen peternakan, peningkatan pakan serta manajemen reproduksinya.

Referensi

Britt, J.S. and Gaska, J. 1998. Comparison of two estrus synchronization programs in a large, confinement-housed beef herd. JAVMA 212:210-212.

Diwyanto, K., 2002. Program Pemuliaan Sapi Potong: Suatu Pemikiran. Makalah Seminar Nasional Kebijakan Breeding, Puslitbangnak, Deptan RI, Bogor.

Gunawan; Abubakar; Tri Pambudi, G; Karim, K; Nista, D; Purwadi, A.dan Putro, P. P. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Putro, P.P. 1992. Performans reproduksi sapi Brahman-Cross asal Australia di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur and Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Monitoring, tidak dipublikasi.

Putro, P.P. 1993. Induksi birahi and Ovulasi pada sapi Brahman-Cross yang mengalami anestrus and subestrus. Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta.
Putro, P. P. 2006. Gangguan Reproduksi pada Sapi Brahman Cross. Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Putro, P. P. 2008. Kinerja reproduksi sapi betina crossing PO-Simmental. Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Sumadi, 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Sapi Potong di Pulau Jawa. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak, Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Youngquist, R.S. 1997. Therigenology in Large Animals. W.B. Saunders Co., London. Pp 80-88