Pendahuluan
Inseminasi buatan (IB) telah
diaplikasikan secara luas pada sapi perah maupun sapi potong di Indonesia.
Aplikasi IB mempunyai keuntungan dan kerugian, namun dianggap keuntungan
melampaui kerugiannya dengan berdasarkan prinsip suatu doktrin pemuliaan ternak
“Breed the best to the best”. Teknologi ini terbukti merupakan tool yang handal
dalam pelaksanaan breeding dan grading up sapi. Di Indonesia implementasi
komersial IB dimulai sejak tahun 1975, dengan tujuan utama untuk memudahkan
penyebaran genetik unggul, meningkatkan kebuntingan, meningkatkan produktivitas
ternak rakyat, efisiensi penggunaan pejantan unggul dan mencegah penyebaran
penyakit kelamin menular. Inseminasi buatan mempunyai manfaat memudahkan upaya
mengkombinasikan genetik impor ke dalam potensi genetik sapi lokal.
Implementasi tahap I, dimulai tahun 1982 dengan semen beku dari pejantan
Taurindicus dan Santa Gertrudis belum berhasil mendapatkan respon dari
peternak; Tahap II, dimulai tahun 1990 dengan pejantan Simmental dan Limousin
mendapatkan respon luar biasa sampai sekarang oleh peternak.
Crossbreeding merupakan
persilangan antar ternak dari bangsa (breed)
yang berbeda. Crossbreeding sapi potong mempunyai tujuan antara lain: a)
membentuk bangsa teranak baru (composite
breed), b) meningkatkan produksi ternak lokal, c) mendapatkan efek
heterosis (sifat yang muncul dari persilangan yang berbeda dari induknya), d)
mendapatkan komplementari bangsa (breed
complementary). Di dunia sapi potong praktek persilangan ini banyak
dilakukan untuk membentuk terminal cross atau composite breed antara Bos taurus
dan Bos indicus. Australia merupakan negara peternakan yang banyak melakukan
praktek ini untuk membentuk bangsa sapi baru yang tahan panas, tahan kering dan
tahan caplak, namun mempunyai produktivitas yang tetap tinggi. Tercatat antara
lain muncullah bangsa sapi baru silangan Bos taurus-Bos indicus, antara lain
Simbrah (Simmental-Brahman), Brangus (Brahman-Angus), Australian Milking Zebu,
Draught Master, Brahman Cross, Sahiwal Cross. Sejauh ini tidak dilaporkan
adanya penurunan tingkat fertilitas secara signifikan bangsa sapi silangan
tersebut di Australia dengan manajemen peternakan pastura ekstensif.
Di Indonesia, aplikasi
inseminasi buatan pada sapi potong secara intensif telah memungkinkan
terjadinya crossbreeding antara sapi-sapi lokal (Peranakan Onggole = PO atau
Bali) dengan semen beku Bos taurus, utamanya Simmental, Limousin dan Angus,
sehingga permintaan semen bekunya tetap tinggi. Sebaliknya semen beku pejantan
lokal semakin kurang diminati oleh peternak. Belum adanya breeding policy sapi
potong dari Pemerintah yang rinci dalam program crossbreeding ini, serta
diberlakukannya otonomi daerah, menyebabkan program inseminasi buatan dilakukan
oleh peternakan rakyat, tanpa kontrol dari pemerintah. Belum lagi adanya
ancaman punahnya bangsa sapi lokal, seperti semakin langkanya sapi PO di pulau
Jawa. Alasan mengapa peternak sapi potong di Indonesia lebih menyukai
persilangan dengan Bos taurus (Simmental dan Limousin), antara lain karena
berat lahir lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan
serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang
eksotik. Alasan ini mengakibatkan nilai jual lebih tinggi, pendapatan peternak
lebih besar, serta dapat menjadi kebanggaan peternak. Kondisi saat ini program
crossbreeding dalam grading up sapi lokal dengan semen beku Simmental atau
Limousin semakin banyak dijumpai di pedesaan indukan sapi silangan F1 (50%
darah Bos taurus), F2 (75%), F3 (87,5%), F4 (93,75%) dan F5 (96,875%). Fakta
menunjukkan bahwa sapi silangan indukan milik rakyat dengan darah Bos taurus
lebih dari 87,5% mempunyai kecenderungan sulit bunting, bahkan dari
fertilitasnya sudah kelihatan adanya penurunan sejak F1.
Kinerja dan Anomali
Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding
Aplikasi IB pada indukan sapi silangan menunjukkan penurunan kinerja reproduksi, antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR), semakin meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) dan hari-hari kosong (days open) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pengamatan Putro (2008) pada kelompok sapi PO dan silangan akseptor IB di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hal tersebut (Tabel 1).
Aplikasi IB pada indukan sapi silangan menunjukkan penurunan kinerja reproduksi, antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR), semakin meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) dan hari-hari kosong (days open) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pengamatan Putro (2008) pada kelompok sapi PO dan silangan akseptor IB di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hal tersebut (Tabel 1).
Kinerja
Produksi
|
PO
|
F1
|
F2
|
F3
|
F4
|
Angka
Konsepsi
|
80%
|
68%
|
60%
|
39%
|
34%
|
S/C
|
1.2
|
1,9
|
2,3
|
3,4
|
3,5
|
Days open
|
158
hari
|
189
hari
|
205
hari
|
236
hari
|
219
hari
|
Anestrus
pasca beranak
|
38%
|
44%
|
58%
|
68%
|
76%
|
Endometritis
|
8%
|
17%
|
22%
|
31%
|
28%
|
Repat
Breading
|
28%
|
38%
|
47%
|
62%
|
68%
|
Korpus
Luteum
|
6%
|
13%
|
15%
|
19%
|
16%
|
Penurunan kinerja reproduksi
terlihat dengan semakin menurunnya angka konsepsi, meningkatnya jumlah
inseminasi per konsepsi dan hari-hari kosong pasca beranak dengan semakin
banyaknya angka F, atau dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Pada kasus
ini kebetulan semua sapi betina diinseminasi buatan dengan semen beku bangsa
Simmental. Pada peternakan sapi rakyat, pemeliharaan tradisional dan pakan yang
kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya agaknya merupakn penyebab
utama menurunnya kunerja reproduksi ini. Disamping itu, masalah pakan sangat
mempengaruhi skor kondisi tubuh (SKT) yang umumnya lebih rendah dari optimum
bagi proses reproduksi (3,0-3,5, dari skor 1,0-5,0). Rerata SKT sapi silangan
yang relatif rendah ini sangat berpengaruh pada kinerja reproduksi. Penurunan
kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto (2002) diduga sebagai akibat adanya
pengaruh genetic environmental interaction, di samping kemungkinan telah banyak
terjadi inbreeding akibat persilangan yang tidak terencana dan tidak tercatat.
Dari pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan
sifat-sifat gen resesif, antara lain berbentuk kematian pedet dalam kandungan,
lahir mati (still birth), kasus-kasus
teratologi seperti hidrosephalus dan atresia ani (tidak mempunyai lubang anus).
Semakin tinggi darah Bos
taurus akan membuat sapi semakin rentan terhadap investasi cacing hati
(fasciolasis) dan cacing porang (paramphistomiasis). Keadaan ini sangat
mengurangi efisiensi pakan dan akibatnya jelas kondisi sapi yang terlalu kurus
atau mempunyai SKT rendah (dibawah 2,0) serta berakibat dengan tumbulnya infertilitas
metabolik. Anomali reproduksi sangat berkaitan erat dengan rendahnya SKT dan
infertilitas metabolik, terutama berbentuk hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), sista folikel (anovulatory follicle), ovulasi tertunda
(delayed ovulation) dan korpus luteum
persisten (persistency of corpus luteum)
dan endometritis subklinis (subclinical endometritis).
Hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), erat kaitannya
dengan SKT rendah atau infertilitas metabolik. Pada sapi crossbreeding keadaan
ini lebih umum dijumpai daripada sapi PO, akibat lebih pekanya sistem
reproduksi terhadap malnutrisi. Kejadian malnutrisi menyebabkan defisiensi
kronis follicle stimulating hormone (FSH), akibatnya tidak terjadi perkembangan
folikel serta pengecilan ukuran ovaria. Pada kasus ini tidak dijumpai adanya
perkembangan folikel dan ovulasi, sehingga sapi akan mengalami anestrus.
Perbaikan SKT dengan peningkatan pakan akan segera memulihkan keadaan ini,
dengan catatan kondisi belum melanjut menjadi atrofi ovaria.
Sista folikel (anovulatory
follicle), keadaan ini lebih ringan daripada hipofungsi ovaria, walaupun lebih
karena defisiensi luteinizing hormone (LH). Folikel yang berkembang maksimum
tidak mengalami ovulasi, karena kuantitas LH kurang mencukupi untuk
menginisiasi ovulasi. Sista folikel terbukti juga lebih banyak terjadi serta
kejadiannya cenderung lebih meningkat pada sapi silangan dengan darah Bos
taurus lebih tinggi.
Ovulasi tertunda (delayed
ovulation), juga akibat defisiensi LH lebih ringan lagi. Folikel ovulasi yang
sudah masak mengalami penundaan ovulasi akibat LH kurang optimum. Kondisi ini
juga lebih sering dijumpai pada sapi silangan dengan Bos taurus, serta
prevalensinya lebih meningkat dengan semakin tingginya angka F.
Korpus luteum persisten
(persistency of corpus luteum), terkait dengan adanya peradangan dan infeksi
endometrium, terjadi karena kegagalan karena lesi padaaproduksi dan atau pembebasan prostaglandin F2
endometrium. Sapi penderita korpus luteum persisten biasanya mengalami gejala
tidak birahi atau anestrus. Endometritis subklinis (subclinical endometritis),
merupakan peradangan ringan endometritis, namun tidak menghentikan siklus
estrus penderita. Endometritis subklinis biasanya mempunyai gejala repeat
breeding (kawin berulang), yaitu keadaan dimana betina dengan siklus birahi
normal kawin lebih dari 3 kali dengan pejantan atau semen fertil namun tetap
tidak berhasil bunting. Pada sapi crossbreeding kejadian infeksi dan alat
reproduksi atau endometrium dan menyebabkan repeat breeding memang lebih banyak
terjadi pada sapi dengan darah Bos taurus lebih tinggi. Biasanya peneliti
mempunyai pengalaman bahwa kalau sapi crossbreeding dengan Bos taurus dengan
perawatan yang memadai, dengan pakan yang mencukupi baik dari kualitas dan
kuantitasnya, maka kinerja reproduksi akan dapat dipertahankan sama atau lebih
ditingkatkan daripada sapi lokal (PO).
Begitu pula dengan anomali
reproduksinya nyaris tidak ditemui, termasuk hipofungsi ovaria, ovulasi
tertunda, sista folikel, korpus luteum persisten maupun endometritis subklinis.
Kinerja reproduksi juga dapat menunjukkan angka normal, misalnya angka konsepsi
mendekati 60%, jumlah inseminasi per kebuntingan sekitar 1,5 kali dan hari-hari
kosong sekitar 150 hari. Perbaikan manajemen peternakan dan pakan menjadi kata
kunci dalam menangani masalah anomali reproduksi sapi crossbreeding indukan.
Semakin tinggi darah Bos taurus berarti semakin mempersyaratkan pemeliharaan,
pakan serta kesehatan ternak lebih baik untuk tercapainya produktivitas dan
reproduktivitas maksimum.
Bentuk reproduksi klinis
sapi silangan indukan yang lazim ditemui adalah semakin banyaknya kejadian
prolapsus vagina pada sapi bunting maupun prolapsus uteri (Bahasa Jawa:
broyongen) dengan semakin tingginya darah Bos taurus. Hal serupa dijumpai pada
kejadian kesulitan beranak (dystocia) dan retensio plasenta. Kasus-kasus klinis
ini erat kaitannya dengan defisiensi pakan dan manajemen perkandangan pada
peternakan sapi potong rakyat. Kasus reproduksi klinis ini juga bisa
diminimumkan dengan perbaikan pakan dan manajemen peternakan.
Analog dengan turunan
betina, pada sapi jantan hasil crossbreeding antara sapi PO atau Bali dengan
semen beku Bos taurus (Simmental dan Limousin) dicatat anomali reproduksi
bilamana ternak dipelihara dengan kondisi tradisional. Bentuk anomali sapi
jantan silangan antara lain rendahnya libido atau keinginan mengawini (sex
drive), rendahnya kualitas semen terutama rendahnya konsentrasi dan motilitas
spermatozoa, beberapa kasus bahkan dicatat adanya azoospermia (tidak mempunyai
spermatozoa yang hidup).
Fenomena
Reproduksi Sapi Brahman Cross
Populasi sapi Brahman Cross
dari Australia jumlahnya semakin bertambah, sebagai upaya menambah populasi
sapi indukan. Sapi ini merupakan persilangan antara sapi Brahman, Hereford dan
Shorthorn dengan proporsi darah berturut-turut 50%, 25% dan 25%, sehingga
secara fisik bentuk fenotip dan keistimewaan sapi Brahman Cross cenderung lebih
mirip sapi American Brahman. Budidaya sapi ini dengan sistem peternakan
intensif tradisional akan menimbulkan fenomena reproduksi, terutama berupa
infertilitas nutrisi yang dimanifestasikan dengan birahi tenang, anestrus dan
kawin berulang.
Birahi tenang atau birahi
tidak teramati (silent heat, sub-estrus) banyak dilaporkan pada sapi
Brahman-Cross; sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi and
ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat. Birahi tenang akan
mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi, sehingga
tidak dapat dikawinkan dengan tepat. Pada peternakan sapi Brahman-Cross di
negeri asalnya, kasus birahi tenang tidak menimbulkan masalah, karena mereka
menggunakan pejantan alami yang merupakan detektor birahi sapi terbaik. Birahi
tenang pada sapi Brahman-Cross pada peternakan rakyat terjadi karena beberapa kemungkinan,
antara lain sapi Brahman-Cross memiliki sifat antara lain: a) Cenderung untuk
birahi pada hari gelap, b) Lama birahinya pendek, dengan rerata kurang dari 6
jam, c) Intensitas gejala birahi memang lemah.
Sifat birahi sapi
Brahman-Cross yang cenderung tenang ini timbul diakibatkan oleh beberapa
faktor, antara lain: a) Faktor genetis, b) Manajemen peternakan tradisional, c)
Defisiensi komponen-komponen pakan atau defisiensi nutrisi, d) Perkandangan
tradisional, sempit, kurang gerak, kandang individual, e) Kondisi fisik jelek,
kebanyakan karena parasit interna (cacing), f) Dalam proses adaptasi.
Tidak birahi sama sekali atau anestrus adalah keadaan dimana memang tidak terjadi siklus reproduksi, tidak ada ovulasi, sehingga tidak terjadi gejala birahi sama sekali. Kasus anestrus pada sapi Brahman-Cross cukup banyak ditemui, umumnya terjadi setelah beranak. Anestrus pada sapi Brahman-Cross umumnya berupa hipofungsi ovaria (90%) akibat defisiensi nutrisi and korpus luteum persisten (10%) akibat adanya peradangan saluran reproduksi.
Tidak birahi sama sekali atau anestrus adalah keadaan dimana memang tidak terjadi siklus reproduksi, tidak ada ovulasi, sehingga tidak terjadi gejala birahi sama sekali. Kasus anestrus pada sapi Brahman-Cross cukup banyak ditemui, umumnya terjadi setelah beranak. Anestrus pada sapi Brahman-Cross umumnya berupa hipofungsi ovaria (90%) akibat defisiensi nutrisi and korpus luteum persisten (10%) akibat adanya peradangan saluran reproduksi.
Hipofungsi ovaria adalah
kurang atau tidak berfungsinya ovaria dalam menghasilkan ovum secara rutin,
karena tidak terbentuk folikel dan tidak ada ovulasi, sehingga juga tidak
timbul gejala birahi. Kurang atau tidak berfungsinya ovaria ini memang bersifat
temporer, namun kalau keadaannya melanjut maka ovaria akan tidak berfungsi
secara permanen, karena stroma jaringan ovaria akan diganti dengan jaringan
ikat, keadaan ini disebut atrofi ovaria. Pada ovaria yang mengalami hipofungsi
maka akan teraba kecil, diameter sekitar 1,5 cm, pipih, permukaan licin halus
dan uterusnya teraba lembek, tidak bertonus. Bila sudah melanjut menjadi atrofi
ovaria, maka ovaria akan teraba semakin kecil lagi, diameternya sekitar 0,5 cm
dan rabaannya menjadi keras karena stroma ovarium digantikan oleh jaringan
ikat. Sapi penderita akan segera mengalami peningkatan berat badan dengan
cepat, karena tidak aktifnya lagi ovaria akan menyebabkan seperti hewan
diovariektomi.
Sapi Brahman-Cross yang
mengalami anestrus 80% disebabkan oleh hipofungsi ovaria ini, termasuk juga
atrofi ovaria. Penyebab utama dari hipofungsi ovaria karena adanya defisiensi
hormon gonadotrofin, akibat dari berbagai faktor antara lain : 1) Defisiensi
nutrisi, pakan yang tidak memadai, termasuk enerji, protein, vitamin dan
mineral, 2) Menyusui pedet, 3) Penyakit-penyakit yang menyebabkan kekurusan, 4)
Parasit cacing, terutama sapi Brahman Cross lebih peka terhadap cacing hati
(Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis) dibanding sapi lokal lain,
seperti sapi PO dan Bali.
Korpus luteum persisten
merupakan penyebab anestrus pada sapi Brahman-Cross, walaupun kejadiannya
relatif kecil, hanya sekitar 10% dari seluruh kasus anestrus. Korpus luteum
sebetulnya bukan merupakan gangguan reproduksi, namun lebih sebagai akibat
adanya gangguan di dalam uterus atau pada endometrium. Adanya gangguan tersebut
menyebabkan tidak terproduksinya atau terjadi gangguan pembebasan
prostaglandin, sehingga korpus luteum akan tetap ada (persist), progesteron akan
terus dihasilkan dan terjadilah anestrus. Penyebab korpus luteum persisten yang
menyebabkan anestrus antara lain: 1) Radang endometrium (endometritis) yang
banyak terjadi pasca beranak maupun pasca inseminasi, 2) Piometra pasca
inseminasi maupun pasca beranak, 3) Mengikuti kematian embrio atau fetus,
abortus, mummifikasi atau maserasi fetus.
Penanganan kasus korpus
luteum persisten umumnya ditujukan kepada pengobatan penyebab gangguan pada
endometrium dan penghancuran korpus luteumnya, misalnya dengan sediaan
prostaglandin. Pemberian prostaglandin akan mampu memecah korpus luteum dan
mengembalikan siklus reproduksi sapi penderita.
Penanganan
Anomali Reproduksi Sapi Crossbreeding
Berdasarkan temuan mengenai
status reproduksi sapi crossing sapi lokal X Bos taurus dan Brahman-Cross
dengan segala permasalahannya untuk perbaikan efisiensi reproduksinya sebagai
berikut:
1. Breeding
policy untuk sapi potong perlu segera diimplementasikan, seperti ditetapkan
dalam crossbreeding darah Bos taurus-nya jangan melebihi 75% (maksimum F2)
setelah itu disilangkan balik (backcrossing), untuk meminimumkan kasus anomali
reproduksi.
2. Pakan
yang mencukupi kualitas dan kuantitasnya, untuk mempertahankan SKT optimum
untuk reproduksi (3,0-3,5), di samping pemberian obat cacing berspektrum luas
untuk mengatasi cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang
(Paramphistomiasis), paling tidak 2 kali setahun merupakan kunci bagi
penanggulangan reproduksi klinis sapi crossing sapi lokal x Bos taurus.
3. Manajemen
peternakan yang keliru merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi pada
sap silangan dan Brahman Cross, utamanya adalah defisiensi pakan, sistem
perkandangan dan pengamatan birahi.
4. Kandang
lepas, tanpa ditambat, atau adanya tempat umbaran untuk exercise merupakan
keharusan bagi sapi Brahman Cross.
5. Pemeriksaan
khusus infertilitas untuk identifikasi permasalahan individual sapi silangan
dan Brahman-Cross yang bermasalah. Perlu ditentukan apakah sapi hanya mengalami
birahi tenang, anestrus atau infertilitas bentuk lain.
6. Penanganan
infertilitas metabolik dan nutrisi, dengan perbaikan pakan dan perbaikan skor
kondisi tubuh.
7. Penanganan
Klinis kasus anestrus karena hipofungsi ovaria, yang merupakan kasus
infertilitas terbesar pada sapi Brahman, juga mirip dengan penanganan birahi
tenang,
a. Perbaikan
kondisi fisik (SKT), sampai mencapai skor sekitar 3,0.
b. Penanganan
dengan sediaan progestagen atau gonadotropin-releasing
hormone (GnRH).
hormone (GnRH).
8. Penanganan
klinis kasus repeat breeding (kawin berulang), antara lain:
a. Inseminasi
ganda, dua kali masing-masing satu dosis dengan selang 12 jam, terutama pada
kasus yang terkait dengan ovulasi tertunda.
b. Infusi
intrauterina antibiotika, misal penicillin kristal 1 juta unit dan streptomycin
1 gram, atau yodium povidone 2% dengan volume 100 – 250 ml, terutama untuk
kasus endometritis subklinis.
Beberapa metode untuk
induksi birahi dan ovulasi pada sapi Brahman-Cross
yang mengalami birahi tenang dan hipofungsi ovaria, antara lain dapat
disebutkan: Penggunaan CIDR (controlled internal drug release), implant berisi progesterone, diiserasikan intravagina dan dibiarkan selama 9-12 hari. Insemiansi buatan dilakukan pada 72 dan 96 jam setelah pengambilan implant.
yang mengalami birahi tenang dan hipofungsi ovaria, antara lain dapat
disebutkan: Penggunaan CIDR (controlled internal drug release), implant berisi progesterone, diiserasikan intravagina dan dibiarkan selama 9-12 hari. Insemiansi buatan dilakukan pada 72 dan 96 jam setelah pengambilan implant.
Metode
Ovsynch (sinkronisasi ovulasi) dengan menggunakan 250 mcg Gonadorelin (GnRH)
disuntikkan intramuskuler pada hari ke 0, diikuti 15 mg Luprostiol
(prostaglandin) pada hari ke 7, dan akhirnya 250 mcg Gonadorelin pada hari ke
8, inseminasi buatan tanpa melihat gejala birahi dilakukan pada hari ke 9.
Kasus prolapsus vagina dan serviks maupun prolapsus uteri dan kasus distokia pada sapi Brahman Cross dapat dihindari dengan mempertahankan SKT antara 3,0-3,5 pada saat bunting, serta diberi cukup banyak exercise pada tempat umbaran. Penambahan mineral, termasuk mikromineral, penting diberikan harian untuk mencegah terjadinya abnormalitas reproduksi lebih jauh.
Kasus prolapsus vagina dan serviks maupun prolapsus uteri dan kasus distokia pada sapi Brahman Cross dapat dihindari dengan mempertahankan SKT antara 3,0-3,5 pada saat bunting, serta diberi cukup banyak exercise pada tempat umbaran. Penambahan mineral, termasuk mikromineral, penting diberikan harian untuk mencegah terjadinya abnormalitas reproduksi lebih jauh.
Kesimpulan
Inseminasi
buatan memungkinkan program crossbreeding antara sapi betina lokal dan semen
beku pejantan Bos taurus. Keadaan ini menyebabkan jumlah sapi silangan F1, F2,
F3 dan F4 semakin banyak dijumpai, serta semakin sulitnya ditemui sapi PO di
pulau Jawa. Fakta menunjukkan bahwa terjadi penurunan kinerja reproduksi dan
peningkatan anomali reproduksi pada sapi-sapi indukan tersebut. Kinerja reproduksi
dan anomali reproduksi pada sapi indukan silangan dapat diperbaiki dengan
peningkatan manajemen peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan. Sapi
Brahman Cross (BX) merupakan sapi potong dengan darah Brahman dominan. Sifat
sapi Brahman Cross sebagai hewan dengan reproduksi lambat (slow breeder), sulit
dideteksi birahinya membuat pelaksanaan IB pada sapi banyak menjumpai
kegagalan. Budidaya sapi ini dengan sistem peternakan intensif tradisional akan
menimbulkan fenomena reproduksi, terutama berupa infertilitas nutrisi yang
dimanifestasikan dengan birahi tenang, anestrus dan kawin berulang. Fenomena
reproduksi pada sapi Brahman-Cross tersebut dapat dieliminasi dengan perbaikan
manajemen peternakan, peningkatan pakan serta manajemen reproduksinya.
Referensi
Britt, J.S. and
Gaska, J. 1998. Comparison of two estrus synchronization programs in a large,
confinement-housed beef herd. JAVMA 212:210-212.
Diwyanto, K., 2002.
Program Pemuliaan Sapi Potong: Suatu Pemikiran. Makalah Seminar Nasional
Kebijakan Breeding, Puslitbangnak, Deptan RI, Bogor.
Gunawan; Abubakar;
Tri Pambudi, G; Karim, K; Nista, D; Purwadi, A.dan Putro, P. P. 2008. Petunjuk
Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Putro, P.P. 1992.
Performans reproduksi sapi Brahman-Cross asal Australia di beberapa daerah di
Jawa Tengah, Jawa Timur and Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Monitoring,
tidak dipublikasi.
Putro, P.P. 1993.
Induksi birahi and Ovulasi pada sapi Brahman-Cross yang mengalami anestrus and
subestrus. Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta.
Putro, P. P. 2006.
Gangguan Reproduksi pada Sapi Brahman Cross. Bagian Reproduksi dan Kebidanan
FKH UGM Yogyakarta.
Putro, P. P. 2008.
Kinerja reproduksi sapi betina crossing PO-Simmental. Bagian Reproduksi dan
Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.
Sumadi, 2009. Sebaran
Populasi, Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Sapi Potong di Pulau Jawa.
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak, Fakultas Peternakan
UGM, Yogyakarta.
Youngquist, R.S.
1997. Therigenology in Large Animals. W.B. Saunders Co., London. Pp 80-88
0 komentar:
Posting Komentar